Keragaman etika lingkungan
'Keragaman'
artinya 'macam-macam', 'keanekaragaman'. 'keragaman' mempunyai arti yang
khusus, yaitu berpacu pada keanekaragaman
antara orang-orang pada pusat dimensi khusus, seperti: entis dan budaya,
jenis kelamin, orientasi seksual. bahasan pokok adanya filasat, yaitu di kenal
dengan 'Lihat dan Melihat. Itu seperti ini, bukan?' Ini seperti kepekaan pada
sesuatu, karena kepekaan merupakan bagian dari pengalaman sehari-hari, dapat
dengan mudah dipahami dalam konteks akademik. etika lingkungan menjadi
pendidikan yang mengekalkan pikiran dan jalan pikiran yang dapat membentuk
keragaman dari etika. teori naturalistik
yang mengemukakan bahwa wujud manusia dengan mudahnya berevolusi seperti yang
mereka lakukan, dan dengan teori teologis yang mengemukakan bahwa ada rencana
Tuhan dibalik sifat alami manusia. kesamaan dari kedua teori antara teologis
dan naturalistik dapat menunjukkan tentang sifat alami manusia.
Manusia
adalah makhluk sosial. makhluk rasional. Artinya, manusia tidak selalu berpikir
atau berlaku cukup rasional daripada irasional. manusia dapat dengan sadar
mengikuti aturan dan sadar akan hak mereka. Manusia peka, Manusia memiliki masa
depan, manusia bersifat rentan, dapat rusak dan dapat menderita secata fisik
dan terluka secara emosional. Blackburn (2001: 4) mengemukakan bahwa manusia
juga makhluk sosial. Faktanya, jika semua manusia berbuat benar, maka
kemungkinan manusia dapat menjadi makhluk sosial secara mutlak, manusia dapat
mengevaluasi. Setiap ada suatu perubahan akan manusia respon dengan positif
atau dengan negatif. evaluasi mengenai perubahan ini terjadi pada konteks
komunikasi;
Manusia yang
rasional tetapi atomistik, tidak akan dapat hidup pada etika lingkungan.
Menjadi makhluk sosial artinya kita memiliki banyak keinginan untuk orang
lain. Sebagai makhluk sosial artinya
dapat mengevaluasi, dan mampu mengikuti aturan, mengembangkan nilai norma
mengenai bagaimana manusia memperlakukan satu sama lain. Norma-norma yang muncul dapat berupa larangan
atau batasan norma yang baru tersebut
dikenal sebagai moralitas yang pada dasarnya adalah tentang memperingatkan satu
sama lain, norma ini dinyatakan dalam aturan yang mengatakan 'lakukan ini' dan
'jangan lakukan itu'. Gambaran ini
membuat moralitas dalam beberapa hal memiliki kemiripan dengan hukum suatu
negara. moralitas dianggap sebagai pedoman jika manusia ingin melakukan
sesuatu. moralitas dalam arti sempit' adalah seperangkat paksaan yang diakui
secara sosial mengenai suatu perilaku, di mana paksaan tersebut diambil secara
serius untuk melindungi orang lain dari beberapa akibat adanya kekurangan
manusia antara satu dengan yang lain.
Beberapa
filsuf (termasuk William 1985) berpendapat berbeda antara moralitas (dalam arti
sempit tentang apa yang kita dapat satu sama lain) dan etika, yang mencakup
seluruh bidang evaluasi yang berkaitan dengan bagaimana kita menjalani
hidup. norma itu menentukan atau
melarang perilaku yang berkaitan dengan motif dan perasaan. Pendidikan yang
berorientasi pada norma-norma tidak dapat dibatasi dengan hanya memastikan
bahwa orang tersebut taat pada norma, tanpa pengawasan lanjut dari pendidiknya.
Jika perilaku
seseorang terhadap yang lain tidak pernah melanggar hak-hak pihak lain, dan
selalu dalam batas-batas kesopanan dan kesantunan, kita bisa berpikir itu
membuat perbedaan apakah orang pertama menghormati yang lain, atau hanya
kelihatannya menghormati sementara sebenarnya meremehkan yang lain. Pikirkan
perdebatan tentang euthanasia di mana
seseorang sakit parah dan dalam kesulitan besar yang berkelanjutan (dan
mengajukan pertanyaan, bukan apakah hukum negara akan membolehkan euthanasia,
tapi apakah tindakan euthanasia pernah secara moral diperbolehkan). Beberapa
orang akan berpikir dalam hal hukum moral yang melarang membunuh, apa pun
motifnya. Orang lain akan berpikir bahwa tindakan euthanasia yang dilakukan
dalam kasih sayang, dengan tujuan hemat korban dari penderitaan dan penghinaan,
diperbolehkan - bahkan mungkin mengagumkan.
Jadi alasan
pertama mengapa kita harus bergerak melampaui gagasan moralitas sebagai
seperangkat aturan adalah bahwa kita perlu mengikuti perasaan dan motivasi diri
kita sendiri. Alasan lain adalah bahwa kita tahu bahwa aturan, dan kewajiban
yang mereka ciptakan, bisa bertentangan. Misalkan Anda telah berjanji kepada
seorang teman bahwa Anda tidak akan mengungkapkan beberapa rahasia mereka; Tapi
kemudian Anda menemukan diri Anda dalam situasi di mana satu-satunya cara untuk
menghindari mengungkapkan rahasia itu dengan menceritakan kebohongan. Jika Anda berpikir tentang situasi ini murni
dari segi aturan moral, yang satu adalah 'tidak melanggar janji' dan yang
lainnya adalah 'tidak berbohong', maka tidak akan ada cara untuk menghindari
melakukan sesuatu yang salah.
Satu hal yang
bisa kita lakukan dalam situasi di mana tidak ada panduan yang jelas yang bisa
didapat dari berpikir dalam aturan moral adalah untuk melihat konsekuensi dari
tindakan satu atau yang lain. Tetapi di mana tidak ada pertimbangan seperti
menyelesaikan persoalan terlebih dahulu, sering satu-satunya langkah yang baik
untuk dilakukan adalah melihat akibat-akibat dari bertindak dalam satu arah
daripada yang lain. Tentu saja, akibat-akibat sendiri harus dibandingkan dan
dievaluasi. Bagaimana kita membandingkan situasi? Beberapa filsuf berpikir
bahwa itu selalu, setidaknya dalam teori, mungkin untuk membuat perbandingan
dalam hal kebahagiaan, sehingga kita harus melakukan apa yang akan menaikkan
tingkat terbesar kebahagiaan dicapai.
Kita tidak
hanya mengevaluasi tindakan - sebagai benar atau salah, hal yang baik untuk
dilakukan atau tidak, dan sebagainya. Kita bisa membuat semacam evaluasi seumur
hidup, atau sebagian besar kehidupan. Mungkin 'sebagian besar kehidupan' ketika
orang-orang muda mencoba untuk memutuskan apa yang mereka ingin lakukan pada
hidup mereka. Apa yang akan menjadi sesuatu yang benar-benar diinginkan dalam
hidup? Apa faktor yang mendasarinya? Kita juga dapat bertanya “Apakah kehidupan
orang lain baik atau tidak?”. “Apakah
mereka hidup telah menyebabkan kehidupan yang tampaknya baik kepada mereka,
membawa mereka kepuasan, dan sebagainya”.
Pada saat
yang sama mungkin mustahil untuk mengatakan sebuah kehidupan yang baik bagi
seseorang terjadi tanpa adanya pengaruh dari lingkungan masyarakat dimana ia
hidup, mengingat bahwa manusia adalah makhluk sosial. Banyak penilaian yang
kami lakukan atau buat tentang masyarakat atau urusan sosial negara. Jika kita
memulai gagasan dari manusia sebagai makhluk sosial, kita harus menambahkan
bahwa manusia bukan makhluk sosial saja namun mereka adalah mahkluk politik
(kembali ke Aristoteles). Artinya, mereka cakap, rasional, kemampuan dalam
komunikatif dan kooperatif, dengan begitu organisasi menjadi urusan mereka.
Dalam pengertian ini sebagian besar dari aktivitas manusia seperti menilai,
menyarankan, kritik, dan sebagainya merupakan kegiatan politik.
Kita menilai
tindakan, kita menilai urusan negara, dan kami juga menilai orang. Dalam hal
ini kita bukan hanya menilai yang dasar-baik dan buruk-tentang orang juga
tentang tindakan dan urusan negara, tetapi kami memiliki beragam kata untuk
menilai atau menggambarkan kualitas seseorang dalam cara menerima atau menolak.
Kita dapat berpikir tentang kualitas yang diinginkan adalah kita mungkin
menginginkan diri kita berkulitas, dan tentang kualitas dimana kita berharap
untuk melihat orang lain (anak-anak kita sendiri berkualitas). Maka kualitas
adalah sesuatu yang seringnya rumit, melibatkan persepsi, perasaan, motivasi
dan tindakan.
Kita tidak
akan memiliki rasa kepekaan akan lingkungan fisik tanpa menyadari apa yang
lebih baik atau lebih buruk bagi lingkungan. Mungkin sebagian masyarakat ada
yang memiliki rasa kepekaan itu, namun kebanyakan dari kita ide-ide ini menjadi
hal yang penting bagi lingkungan yang hanya ada disekitar kita saja. Jika kita
berpikir untuk menghindari program aksi yang memiliki dampak buruk bagi
generasi keturunan kita nanti, yang memberikan alasan bagi kita untuk
menghindari kerusakan lingkungan dimana keturanan kita akan mendapatkan
dampaknya. Jika kita peduli dengan orang lain, bukan hanya orang-orang terdekat
dengan kita baik berdasarkan tempat dan waktu tetapi juga orang-orang generasi
yang akan datang, sekali lagi kami memiliki alasan untuk memilihara lingkungan.
Sejauh ini
kita telah melihat unsur dari etika lingkungan hidup, karena banyak macam
perbedaan dari faktor yang bisa menimpa setiap orang. Hanya saja faktor penting
yang sebenarnya untuk individu tertentu bergantung pada lingkungan sosial
individu tersebut secara langsung, dan sebagiannya lagi dipengaruhi oleh
pendidikan formal. Satu pertanyaan tentang peran pendidikan formal adalah
seberapa jauh pendidikan formal mengambil tanggung jawab untuk menjadikan semua
orang sadar akan keragaman dan kekayaan akan lingkungan; pertanyaan lainnya
adalah seberapa jauh hal itu dapat mendorong individu untuk memanfaatkan
berbagai sumber daya lingkungan yang tersedia untuk moral penilaian (Haydon
1999: 124-126).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar