Antropologi filsafat atau yang lebih
dikenal dengan filsafat manusia adalah bagian integral dari sistem filsafat,
yang secara spesifik menyoroti hakikat atau esensi manusia. Objek material
filsafat manusia dan ilmu-ilmu tentang manusia (misalnya psikologi dan
antropologi) adalah gejala manusia. Pada dasarnya ilmu ini bertujuan untuk
menyelidiki, menginterpretasi, dan memahami gejala-gejala atau
ekspresi-ekspresi manusia.
Secara umum dapat dikatakan, filsafat
manusia tidak membatasi diri pada gejala empiris. Bentuk atau gejala apapun
tentang manusia, sejauh yang dipikirkan, dan memungkinkan untuk dipikirkan
secara rasional, bisa menjadi bahan kajian filsafat manusia. Metode
penelitiannya pun lebih spesifik, misalnya melalui sintesis dan refleksi.
Sintesis dan dan refleksi bisa dilakukan sejauh gejalanya bisa dipikirkan. Dan
karena apa yang bisa dipikirkan jauh lebih luas daripada apa yang bisa diamati
secara empiris, maka pengetahuan atau informasi tentang gejala manusia di dalam
filsafat manusia, pada akhirnya, jauh lebih ekstensif (menyeluruh) dan intensif
(mendalam) daripada informasi atau teori yang didapatkan oleh ilmu-ilmu tentang
manusia.
Hakekat manusia selalu berkaitan
dengan unsur pokok yang membentuknya, seperti dalam pandangan monoteisme, yang
menccari unsur pokok yang menentujkan yang bersifat tunggal, yakni materi dalam
pandangan materialisme, atau unsur rohani dalam pandangan spritualisme, atau dualisme
yang memiliki pandangan yang menetapkan adanya dua unsur pokok sekaligus yang
keduanya tidak saling menafikan nyaitu materi dan rohani, nyakni pandangan
pluralisme yang menetapkan pandangan pada adanya berbagai unsur pokok yang pada
dasarnya mencerminkan unsur yang ada dalam marco kosmos atau pandangan mono
dualis yang menetapkan manusia pada kesatuannya dua unsur, ataukah mono
pluralism yang meletakkan hakekat pada kesatuannya semua unsur yang
membentuknya. Manusia secara individu tidak pernah menciptakan dirinya , kan
tetapi bukan berarti bahwea ia tidak dapat menentukan jalan hidup setelah
kelahirannya dan eksistensinya dalam kehidupan dunia ini mencapai kedewasaan
dan semua kenyataan itu, akan memberikan andil atas jawaban mengenai pertanyaan
hakekat, kedudukan, dan perannya dalam kehidupan yang ia hadapi. (Musa Asy’ari,
Filsafat Islam, 1999).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar