Aliran utama filsafat ketiga pada abad kedua
puluh meminjam namanya, dengan alas an yang baik, mengingat sifat mitologis
ini. Sebgaiman tugas hermes ialah mengungkapkan makna tersembunyi dari
dewa-dewa ke manusia-manusia, filsafat hermeneutik pun berusaha memahami
persoalan paling dasar dalam kajian ilmu tentang logika atau filsafat bahasa:
bagaimana pemahaman itu sendiri mengambil tempat bilamana kita menafsirkan
pesan-pesan ucapan atau tulisan. Filsafat hermeneutic memilik akar yang dalam
di kebudayaan barat. Bahkan, Aristoteles sendiri menulis buku berjudul peri
hermeneias (tentang interpretasi), walau ini lebih berkenan dengan
pertanyaan-pertanyaan dasar logika daripada dengan persoalan yang saat ini kita
kaitkan dengan hermeneutika.
Karya pertama yang berusaha secara praktis
obyektif menata prinsip-prinsip penafsiran semacam itu adalah introduction to
the correct interpretation of reasonable discourses and book (1742), karya
Johann Chladenius (1710-1759). Dengan menetapkan hermeneutika sebagai seni
pemorelahan pemahaman pembicaraan secara lengkap (entah ucapan entah tulisan),
ia mengsulkan tiga prinsip dasar yang harus selalu diikuti:
(1) Pembaca
harus menangkap gaya atau “genre” pembicara/penulis;
(2) Aturan
logika yang tak bisa berubah dari Aristotelian harus digunakan untuk menagkap
makna setiap kalimat;
(3) “perspektif”
atau “sudut pandang” pembicara/penulis harus ditanamkan di dalam benak,
terutama ketika membandingkan laporan yang berbeda tentang peristiwa atau
pandangan yang sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar